BULLET TRAIN EXPLOSION

BULLET TRAIN EXPLOSION

Film Bullet Train Explosion adalah reboot/sekuel spiritual dari film 1975 The Bullet Train, yang sekarang diperbarui dengan fokus humanistik—mengangkat kisah nyata para pekerja kereta sebagai aktor utama dalam situasi penuh tekanan. Film yang bergenre aksi, thriller, disaster sangat sesuai ditonton para penikmat film dengan sensasi yang dapat menaikkan adrenalin, ketegangan teknis, dan film disaster dengan cara profesional dan rasional, film ini layak ditonton. Film dengan plot twist mengejutkan atau pahlawan yang individualistik dan over-the-top, ini mungkin terasa agak 'aman' dan terstruktur klasik

Tapi sekarang kita bukan membahas tentang film, melainkan bahwa didalam film ini banyak sekali keputusan-keputusan strategis penuh risiko yang diambil. Apa sajakah itu?  Yuk mari kita hubungkan film Bullet Train Explosion dengan prinsip-prinsip Manajemen Risiko :

    1. Identifikasi & Penilaian Risiko
      • Risiko utama : bom yang meledak jika kecepatan turun di bawah 100km/jam. Ini langsung ditetapkan sebagai risiko tinggi dan kritikal karena efek langsung terhadap nyawa penumpang;
      • Ada pula risiko tambahan seperti gangguan jalur (kereta mogok, bird strike), intervensi politik, dan fitnah media sosial/ransom crowdfunding
    2. Analisis & Mitigasi Risiko
      • Mitigasi teknis : JR East melakukan clear tracks dan menonaktifkan sistem otomatis agar tetap di atas kecepatan aman; mereka dan wakil pemerintah mengoordinasikan track switching serta simulasi menggunakan miniatur model untuk menguji skenario penyelamatan;
      • Mitigasi organisasi : sekelompok ahli (konduktor, operator jalur, kontrol pusat) bekerja sinergis untuk meminimalkan efek rangkaian masalah teknis, tekanan politik, dan tebusan publik.
    3. Peran Kepemimpinan & Tanggung Jawab Jelas
      • Konduktor Takaichi mengambil peran kepemimpinan decisive, pengambilan keputusan terdesentralisasi dengan pemisahan peran: kontrol, jalur, operator kereta, polisi, dan pejabat pemerintah;
      • Ini menunjukkan penetapan tanggung jawab secara jelas dan delegasi efektif, penting dalam kerangka manajemen krisis.
    4. Redundansi & Kontinjensi
      • Penggunaan track switching & uncoupling sebagai tindakan darurat untuk mencegah ledakan pada penumpang memberikan redundansi terhadap skenario bom;
      • Menjalankan simulasi model miniatur juga menunjukkan penggunaan tindakan kontinjensi sebelum eksekusi nyata.
    5. Bureaucracy—Ancaman & Hambatan
      • Film ini mengilustrasikan bagaimana birokrasi—terutama politik dan kebijakan “no negotiation”—dapat menghambat respons cepat, menciptakan friction antara tindakan teknis dan keputusan pemerintah;
      • Ini memperlihatkan bagaimana manajemen risiko perlu mengevaluasi proses eskalasi dan pengambilan keputusan untuk menjaga respons tetap cepat dan tepat.
    6. Komunikasi & Koordinasi
      • Mereka menjaga informasi terbatas pada penumpang (menyampaikan secara bertahap), menghindari kepanikan, tetapi tetap merespons tekanan publik dan influencer media social;
      • Komunikasi dua-arah antara pusat kontrol, pejabat, dan tim di lapangan sangat penting demi sinkronisasi penanganan jalur dan kecepatan.
    7. Aspek Human Resilience & Kepemimpinan Moral
      • Fokus pada dedikasi pekerja kereta mencerminkan keberhasilan prinsip manajemen risiko : orang-orang terlatih dan disiplin secara signifikan mengurangi dampak krisis;
      • Momen puncak di mana Takaichi menunjukkan empati kepada pelaku (Yuzuki) juga mencerminkan sisi moral dalam manajemen krisis—pemulihan dan respon manusia menjadi bagian yang sama pentingnya dengan Teknik.

Berikut adalah 4 risiko paling signifikan dari Bullet Train Explosion yang berkaitan langsung dengan SEOJK no. 17/SEOJK.05/2019 yaitu :

    1. Risiko Operasional, Sensor kereta rusak dan hampir mogok—menunjukkan kegagalan proses atau sistem internal. Ini contoh nyata dari risiko operasional
    2. Risiko Strategis, JR East memutuskan menggunakan track switching dan simulasi model—jika keputusan strategi ini gagal, semuanya bisa berantakan. Ini mencerminkan risiko dari kebijakan dan rencana jangka panjang.
    3. Risiko Kepatuhan / Hukum, Tim melewati prosedur darurat tanpa izin resmi, melanggar regulasi dan prosedur operasi—mengundang potensi sanksi dan tuntutan hukum.
    4. Risiko Reputasi, Sayangnya, media dan publik menilai penanganan tebusan dan informasi minimal dengan skeptis—dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap JR East .

Film Bullet Train Explosion bisa dianalisis dalam konteks PTJamkridaBanten serta POJK No. 10 dan 11 Tahun 2025 melalui beberapa aspek berikut :

    1. Modal dan Ekuitas (POJK 10/2025), dalam film, muncul kebutuhan dana besar dan cepat ketika krisis—JR East harus segera menyusun simulasi, evakuasi, dan track switching tanpa kesiapan anggaran sebelumnya. Hal ini selaras dengan amanat POJK No.10 Tahun2025 yang menegaskan penjamin harus memiliki modal disetor yang memadai dan meningkat secara bertahap, agar dapat menanggung kemungkinan kerugian dan menjaga stabilitas operasional.
    2. Tata Kelola dan Kelembagaan (POJK 10 dan 11/2025), struktur tanggap krisis di film menunjukkan tata kelola dan kelembagaan yang kuat—peran konduktor, pusat kontrol, teknisi, dan otoritas jelas dan terkoordinasi. Ini sesuai dengan POJK No.10 dan No.11 yang mempersyaratkan lembaga penjamin memiliki struktur kelembagaan yang baik, pemegang saham dan tenaga ahli yang jelas, serta kerangka tata kelola yang mendukung penyelenggaraan usaha .
    3. Pengelolaan Risiko Operasional dan Jaminan Ulang (POJK 11/2025), JR East melakukan simulasi kontinjensi—track switching, uncoupling, dan testing model miniatur—sebagai bentuk mitigasi teknis. Paralelnya, POJK No.11 mengatur penggunaan penjaminan ulang (re-guarantee) dan cadangan reasuransi (dana yang dialokasikan untuk mengantisipasi kerugian besar yang dilindungi oleh skema reasuransi atau penjaminan ulang, memastikan badan penjamin memiliki kapasitas finansial dan likuiditas saat klaim besar terjadi) agar lembaga penjamin tetap mampu menghadapi skenario gagal bayar atau kerugian besar.
    4. Kepatuhan dan Legalitas (POJK10/2025), tindakan cepat tim film yang melanggar prosedur formal (misalnya melewati jalur tanpa izin) bisa memicu sanksi hukum atau pelanggaran regulasi pasca-krisis. Ini menggambarkan pentingnya kepatuhan terhadap perizinan dan regulasi yang ditegaskan dalam POJK No.10—bahwa setiap lembaga harus beroperasi sesuai ijin dan tunduk pada sanksi bila melanggar.

Secara umum, film ini menyoroti empat aspek utama yang juga menjadi kunci diatur dalam POJK No. 10 dan 11 Tahun 2025 untuk lembaga penjamin seperti PT Jamkrida Banten yaitu : Modal dan Kesiapan Dana, Tata Kelola Organisasi, Mitigasi Operasional Cadangan, serta Kepatuhan Legal dan Regulasi.

Sumber Referensi :

    • POJK No. 10 dan 11 Tahun 2025;
    • Wikipedia dan berbagai sumber.
Menu Disabilitas